Rasulullah saw bersabda, “Agama adalah nasehat.” Kami (sahabat) bertanya, “Untuk siapa?” Beliau bersabda, ‘Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin dan kaum muslimin.” (HR Muslim)
Nasehat secara bahasa bermakna ‘ketulusan’ dan secara terminologi adalah ucapan yang dimaksudkan untuk kebaikan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nasehat adalah kalimat yang disampaikan secara tulus dengan tujuan melakukan perbaikan, baik kepada diri sendiri maupun orang lain.
Dalam tinjauan fiqih, nasehat termasuk ke dalam kategori fardhu kifayah. Artinya, ketika ada segolongan orang telah memberikan nasehat, maka gugurlah kewajiban yang lainnya. Meskipun demikian, fardhu kifayah ini masih bersifat umum dan bisa mengerucut menjadi fardhu ‘ain. Misalnya ketika seseorang dimintai nasehat dan ia sendiri mampu memberikannya, maka ia wajib memberikannya. Demikian pula ketika mengetahui masalah orang lain dan ia mampu memberikan solusi, maka ia pun harus membantunya menemukan jalan keluar
tujuan baik kita dalam memberikan nasihat harus dikemas sedemikian rupa sehingga tujuan dari nasihat itu bisa tercapai. karenanya, kita dituntut untuk memahami metode yang tepat dalam menyampaikannya.
Ada beberapa hal yang harus kita perhatikan.
Pertama: fokus dan tidak bertele-tele. Dalam hal ini kita perlu memerhatikan masalah apa yang menjadi prioritas utama kita. Untuk perkara lainnya, mungkin kita cari waktu lain yang lebih tepat.
Kedua, pilihlah sarana yang tepat. Kita bisa langsung berhadapan dengan obyek ataupun bisa menggunakan mediator lain seperti surat (SMS), email atau telepon. Bisa pula secara tidak langsung yakni menggunakan pihak ketiga yang amanah dan mampu menyampaikan pesan kita dengan baik.
Ketiga, pilihlah kalimat yang tidak menyinggung. Dalam hal ini kita perlu memahami masalah secara baik dan mencari strategi dalam hal memilih kata-kata yang tepat.
Keempat, sebisa mungkin jangan memberi nasehat di muka umum, karena itu akan mempermalukan orang yang kita nasehati. Alih-alih ia mau menerima nasehat kita, malah bisa jadi ia tersinggung dengan perbuatan kita itu.
Kelima, memahami dengan baik permasalahan orang yang akan kita nasehati. Kalau persoalannya masih samar, sebaiknya kita jangan langsung turun tangan menyelesaikannya tanpa melakukan check and re-check terlebih dahulu agar supaya kita mendapatkan informasi yang benar, lengkap dan akurat sehingga solusi yang diberikan pun tepat sasaran.
Keenam, mengetahui watak dan tingkat wawasan orang yang akan kita beri nasehat. apakah wawasannya dalam masalah keagamaan sudah baik atau belum. Bagi orang yang sudah mengetahui teori-teori agama, maka akan lebih efektif jika nasehatnya berupa contoh yang baik dari kita (dakwah bil-hal) untuk kemudian dengan kata-kata yang bijak. Lain halnya dengan orang yang kurang paham dengan ilmu agama, pendekatannya bisa melalui ceramah atau nasehat langsung.
Ketujuh, persiapkanlah mental dan fisik, juga penampilan secara baik, wajar dan sopan. Perlihatkanlah bahwa kita memang tulus dalam menasehatinya dan menginginkan kebaikan untuk dirinya.
Terakhir, dan ini sangat penting, ketika kita akan memberikan nasehat kepada orang lain seyogyanya kitalah yang lebih dahulu melakukan hal tersebut. Sebab apalah artinya kita menyebarkan kebaikan melalui nasehat-nasehat jika kita sendiri, sebagai pemberi nasehat, justru tidak mengindahkan nasehat itu. Allah swt telah mengingatkan kita dalam firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?, Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaf (61): 2-3).
Semoga kita mampu menjadi orang yang siap memberi nasehat dan siap menerima nasehat. Amin. (Wallahu a’lam)
Komentar
Posting Komentar